Kamis, 14 Maret 2013

Legenda Putri Hijau: diantara Batak dan Haru (Aru) sebuah Hipotesis


Rute perjalanan Marcopolo ke Sumatera 
(SUMBER: The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordier Edition Oleh Marco Polo,Sir Henry Yule,Henri Cordier; Dover Publication. 1993 )

Dalam legenda Puteri hijau dikisahkan bahwa dirinya adalah Puteri yang sangat cantik jelita, dengan tubuhnya mengeluar pamor warna kehijauan. Dan kecantikannya terkenal sampai ke seantero Nusantara dan telah membuat kepincut Sultan Aceh yang ingin meminangnya.Tetapi pinangan itu ditolak (dengan alasan yang tidak Jelas) sehingga membuat Sultan Aceh merasa tersinggung, lalu menyerang Benteng Putri Hijau .
Diluar dugaan Benteng itu ternyata sangat kuat, sehingga Sultan Aceh gagal menembusnya. Kekuatan benteng itu menggambarkan bahwa Putri Hijau  itu terkait pada sebuah kerajaan yang cukup besar artinya Putri Hijau bukan dari kalangan masyarakat bawah. Akhirnya Pasukan Sultan Aceh berhasil menguasai Benteng. Setelah pasukan Aceh menembaki Benteng dengan ribuan Koin Emas yang membuat pasukan Benteng Putri Hijau kacau balau dan saling berebutan koin emas. Dan selanjutnya dalam legenda Putri Hijau ada dua Versi dimana versi pertama mengatakan dia dibawa Saudaranya yang berbentuk Ular Naga yang bernama Ular Simangombus dan kini bersemayam di sekitar Pulau Berhala. Akan tetapi dalam versi lainnya dia sempat di tawan Sultan Aceh sebelum akhirnya hilang di bawa badai di Selat Sumatra. 
Di perkirakan kejadian ini berlangsung di Abad 15 sampai abad ke 16 dimana saat itu adalah saat paling berdarah di Sumatra dan Semenanjung Malaya (wikipedia.org).

Tapi siapakah sebenarnya Putri Hijau?
Beberapa Sumber mengatakan bahwa benteng Putri Hijau itu adalah pusat kerajaan Haru (Aru) sebelum di hancurkan oleh Pasukan Multinasional Aceh. Menurut Tengku Luckman Sinar Legenda Puteri Hijau, bila dikaitkan dengan sejarah Kerajaan Haru, maka yang di maksud dengan Putri Hijau adalah Istri dari Raja Haru yang bentengnya berhasil di tembus oleh Aceh karena berhasil menyuap Panglima haru dengan Emas (Mengutip catatan Pinto), yang akhirnya mengungsi menggunakan perahu yang berkepala Naga, Meriam itu menurutnya adalah Hadiah dari Portugal. Sementara menurut Pinto perang Kerajaan Batak dengan Raja Aceh juga adalah karena Raja Batak menolak menceraikan Istrinya yang sudah di nikahinya selama 26 tahun untuk memenuhi permintaan Raja Aceh, agar Raja Batak dapat menikahi Saudari dari Raja Aceh. Ya itulah alasan di balik perang Batak melawan Aceh ada keterlibatan wanita dan pada titik ini tidak sejalan dengan Legenda Putri Hijau yang berkata sebaliknya.

Hal yang sangat menarik sebenarnya jika sampai Sultan Aceh (yang Islam) mau mengorbankan Saudarinya untuk menikah dengan Raja Batak (yang disebut Kafir – meskipun sudah disebut dipengarushi Islam) juga menimbang usia Raja yang pastinya tidak muda lagi  (mengingat perkawinannya sudah menginjak usia 26 tahun) seperti di catat Pinto. Akan tetapi  jika bandingkan dengan Budaya Batak Sekarang yang menganut system Dalian Na Tolu (Rakut Sitelu, Tolu Sahundulan) tetunya ada keterkaitan, mengingat ini adalah posisi tawar yang kuat agar Raja Batak menjadi anak boru (Anak Beru) dari Sultan Aceh yang artinya dengan mengikuti jalur budaya maka Raja Batak akan tunduk dengan sendirinya dengan Sultan Aceh tanpa harus berperang ( Karena Aceh Menjadi Hula-Hula/Tondong/Kalingbubu Raja Batak). Dan dibalik ini Raja Batak mempunyai Koalisi yang besar.

Masih menurut Menurut Tengku Luckman Sinar nama Sultan Aru pada tahun 1477-1488 M adalah Maharadja Diraja, putera Sultan Sujak yang turun dari “Batu Hilir dikata Hulu, Batu Hulu dikata Hilir”. Menurutnya “mungkin pada kalimat itu, yang dimaksudkan adalah “Batak Hilir dikata Hulu, Batak Hulu dikata Hilir”.” Kata “Batak” sengaja dihilangkan karena maknanya bisa mengandung penghinaan, mengingat nama “Batak” pada saat itu menunjukkan pada pengertian “terbelakang”, orang-orang pedalaman di gunung yang belum memeluk Islam. Jadi, orang Haru awalnya berasal dari pegunungan, turunan Batak, yang kemudian masuk Islam menjadi Melayu.

Jadi opini diatas jelas menunjukkan bagaimana sebenarnya dekatnya hubungan Putri Hijau dengan Batak tempo dulu sehingga sering terdengar Aru (Haru) sebagai Kerajaan Batak (kemungkinan ini terjadi pada saat Pra “Pengungsian” ke Pusuk Buhit).

Dari Nama Saudara Putri Hijau dalam legenda itu yaitu Naga Pangombus  yang bersemayam di Selat Malaka mengingatkan kita pada Legenda Naga Padoha (disebut juga Siraja Padoha)  yang kepala ada di Ulu Darat di Sianjur Mula-Mula – Samosir dan ekornya ada di selat Malaka yakni Penjaga Banua Tonga yang di benamkan oleh Boru Deak Parujar dalam Legenda Boru Deak Parujar. Legenda yang bertalian diantara kebetulan atau kesengajaan.

Lalu dimanakah letaknya Kerajaan Batak dan Aru?
Menurut Catatan Tomi Pires (dalam Buku Suma Oriental) bahwa Kerajaan Batak itu ada diantara Kerajaan Pase dan Kerajaan Aru, sementara menurutnya Kerajaan Batak memiliki sebanyak tiga puluh empat sampai empat puluh “lancharas”, yang keluar melalui saluran sungai yang ada di negaranya, dan tidak ada yang hidup di pantai kecuali pengamat untuk melihat yang pergi dan datang. Artinya kerajaan ini tidak mempunyai pelabuhan laut. Dan Pires menyebutkan bahwa Raja Aru tinggal di pedalaman dan dia menyebutkan daerah 

Aru meliputi sebagian Minangkabau, dan di sana mereka memiliki sungai sangat besar  sepanjang pedalaman pulau Sumatera dan dapat dilalui kapal, dan dari tempat-tempat mereka mendapatkan kain untuk pakaian mereka dan kebutuhan lainnya. Dan William Marsden dalam The history of Sumatra mengindikasikan Aru sebagai tanah Rao. Pires menyebut Aru sebagai Kerajaan sangat Besar, akan tetapi saat perang Aru dengan Aceh dia hanya mempunyai 6000 tentara tanpa ada orang asing, bandingkan dengan Raja Batak Paska Jatuhnya bagian terbesar dari negerinya (apakah ini Benteng Putri Hijau?) Raja Batak masih mempunyai 8000 pasukan Batak ditambah alliasi menjadi (15000 orang) saat menyerang Aceh (merujuk catatan Pinto).
Dalam Catatan Pinto juga disebutkan bahwa Aru telah mempunyai pelabuhan yang di singgahi Pinto sebelum meneruskan perjalanan ke Tanah Batak bernama Soratilu, sementara merujuk catatan Pires kerajaan Batak diantara Pase dan Aru tidak mempunyai pelabuhan.

Pinto juga menuliskan bahwa tentara Aceh yang dipimpin oleh Heredin Mahomet, saudara Ipar dari Sultan Aceh, dengan menikahi Saudarinya, dan adalah gubernur dari kerajaan Barus. Kapal Armada Aceh dengan 12 Ribu pasukan (4000 adalah orang asing) ini dengan tiba pada sungai Panetican dimana Raja Aru Menghadapi mereka dengan 6000 orang pasukannya tanpa ada orang asing. Dan musuh (Aceh) menemukan Benteng berparit sebagai pertahanan Aru. Akhirnya Aceh menyerang benteng mereka dengan serangah dahsyat dari sisi perairan. Dan Aru berhasil bertahan di sisi kedua benteng dan menyebabakan kerugian besar pada Pihak Aceh. Sehingga akhirnya Aceh mampu menyuap Panglima Aru,  yang mau menerima emas dari Aceh, yang mengakibatkan jatuhnya benteng itu ke Aceh, Dan Ratu Aru masih bergerilya paska kejatuhan benteng itu dan akhirnya mengungsi dengan kapal berlambang Naga ke Malaka (Lambang Legenda Ular Naga Simangombus - seperti argumen Tengku Luckman Sinar).

Sementara Benteng Putri Hijau ada di pedalaman Sumatra Utara (Deli Tua) saat ini sehingga tidak memungkinkan terjadi pertempuran di perairan. Dan dalam pertemuan antara utusan Raja Batak bernama: Aquarem Dabolay dengan Pedro de Faria,wakil Portugal di Malaka tahun 1539 (The voyages and adventures of Fernand Mendez Pinto. Done into Engl. by, Volume 3 hal. : 15). Diceritakan bahwa ada 3 Anak Raja Batak yang tewas dalam sebuah pertempuran yang disebut-sebut Paling Berdarah dengan Pasukan Aceh di daerah yang disebut “Jacur” dan “Lingua”, jumlah yang tepat dengan 3 bersaudara dalam Legenda Putri Hijau yang punya 2 saudara yaitu Naga Mangombus dan Meriam Puntung. Meski agak berbeda dengan apa yang ditulis Pinto bahwa yang tewas itu adalah 3 Putra (anak lelaki) Raja Batak.
 
Kalau ini terjadi maka adalah logis jika urutan ceritanya adalah Sultan Aceh ingin meminang Putri Hijau setalah benteng jatuh dan Sang Putri tertawan oleh (Pasukan) Sultan Aceh pasca berundurnya Pasukan Raja Batak dari Benteng itu, sehingga tolakan atas Pinangan Sultan Aceh sangat masuk akal karena penyerangan itu telah membuat tewasnya 2 saudaranya Putri Hijau.

Peta pada gambar terlampir mengindikasikan letak Kerajaan Aru (Haru) menurut perjalanan Marcoplo. Sementara Deli kemungkinan besar belum ada waktu itu.




Cat.: Tulisan ini dibuat bukan untuk klaim satu sama lain, ini semua didasarkan bahwa ada kepentingan semua Suku Bangsa di Sumatra Utara dengan Benteng Putri Hijau, untuk penelusuran sejarah masa lalu yang hilang, sehingga Suku Bangsa Batak pun seharusnya mendukung pelestarian Benteng ini.

Sumber:
kutipan dipersembahan Google Book:
1. The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, from the Red Sea to China yang di pubilkasi oleh Asian Education Service Delhi (India): 2005
2. The voyages and adventures of Fernand Mendez Pinto, yang dialih bahasa ke bahasa Ingris oleh H.C Gent yang diterbitkan tahun 1653,
3. 
The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordier Edition Oleh Marco Polo,Sir Henry Yule,Henri Cordier; Dover Publication. 1993
4.  The history of Sumatra: containing an account of the government, laws, customs and Manner, Oleh William Marsden, sold by Thomas Payne and Son; 1784.
Untuk statemen Tengku Luckman Sinar dikutip dari : http://www.tanohaceh.com/?p=2533 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar